Tradisi Demban dan batuni demban - Siboro Blog - Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari
3000 tahun yang lampau atau di zaman Neolitik, hingga saat ini. Budaya makan
sirih hidup di Asia Tenggara.
Di masyarakat Simalungun klasik, demban (sirih) diperuntukkan
sebagai Partambaran (obat), Hapuran (kudapan yang dicampur bahan pelengkapnya),
serta sebagai sesajen bagi ritual mistis.
Jika gual (musik) berawal dari dunia super natural, maka
demban juga berfungsi sama. Hingga seikat sirih sering pula disebut dalam
bahasa Simalungun dengan istilah ‘Sagual demban’
Tradisi Demban dan batu ni demban - Siboro Blog
Di mayarakat Simalungun, kelengkapan Sirih diklasifikasikan
dalam beberapa penyajian. Misalnya:
Demban Sayur: Daun sirih yang tidak dilipat, namun diisi
gambir, kapur dan pinang.
Demban Gunringan: daun sirih bersusun 5, kemudian disatukan
diletakkan dalam daun taruk (Janur Enau) yang sebelumnya berjumlah 5,
masing-masing diikat. Untuk iringan Mahar (Partading maupun boli).
Demban Tasakan: Sirih lengkap ditambah tembakau. Diserahkan
kepada orang-orang tua, dengan sebelumnya tangkainya dipotong.
Demban Pinarbuhulan/Panurungi: Sirih, kapur, gambir, lada
atau menurut saran Datu untuk bahan pengobatan.
Demban Tugah-Tugah: Daun irih sebagai maklumat kepada
orangtua gadis yang lari kawin dengan pemuda idamannnya. Daun Sirih diletakkan
dalam piring dan ditutup dengan daun pisang tinapak, diiringi dengan duit.
Jumlah sirih untuk Bapa adalah empat empat dan Inang adalah berjumlah tiga
tiga. Kedua piring berisi duit. Duit tersebut dinamakan Panindih Demban.
Demban Tangan-Tangan: Sirih yang berisi kelengkapannya yang
disuguhkan langsung kepada seseorang, tanpa
Panindih Demban.
Demban Borkasani: Disuun sedemikian rupa dan diikat dengan
pandan yang dipilih.
Demban Gualan: Disusun sedemikian rupa dibuat seberkas sebanyak
10 lembar dan disatukan dengan berkas lainnya sebanyak 5 dan diikat dengan
pandan terpilih.
Dalam tradisi masyarakat Simalungun, mengenal adanya Bilangan
tertentu untuk memberikan upah, cendera hati ataupun gaji. Ini berlaku baik
untuk imbalan hasil sebuah kerja, ‘uang capek / uang rokok / uang kopi / bonus’,
atau dalam tradisi adat lainnya dalam keseharian, dari dulu hingga kini.
Pada jumlah bilangan Batu Ni Apuran, kegenapan dijadikan
penyeimbang dari hasil jerih payah. Kondisi ini merupakan simbol penghargaan si
pemberi Batu Ni Demban, bahwa si pemberi menghargai peran orang yang diberi
Batu Ni Demban karena telah totalitas menggunakan mata, telinga, tangan, kaki
dan lainnya, untuk membantu hingga upayanya berbuah kebaikkan.
Namun, pada saat pemberian sejumlah uang tersebut, belum
disebut Batu Ni Demban, Batu Ni Apuran, Duit Partadingan atau Batu Ni Namalum,
jika pada saat transasi; uang diberi begitu saja. Justru akan dianggap
penghinaan si pemberi kepada orang yang diberikan.
Pada saat pemberian uang yang berjumlah genap itu, akan
bermakna Batu Ni Apuran jika saat pemberian, uang diselipkan di dalam sirih
dengan kelengkapannya. Sirih inilah yang turut dihitung sehingga Batu Ni Demban
berjumlah ganjil. Baca Juga : ( Resep dan Pengertian Dayok Nabinatur - Siboro Blog )
Bilangan adat ini disebut Batu Ni Apuran. Ada pula yang
menyebutnya dengan istilah Batu Ni Demban, Duit Partadingan atau Batu Ni
Namalum.
Sudah menjadi adat turun temurun, Batu Ni Demban memakai
bilangan genap.
Kita contohkan saja, misalnya:
Paruma (Kawula, Rakyat) : 2, 4, 6, 8
Raja/Sipukah Huta: 12, 24, 48, 60, 120
Dewasa ini, tidak mungkin kita memberikan Rp. 2, Rp. 4 atau
seterusnya. Karenanya, bilangan genap itu bisa kita bulatkan keatas sesuai kurs
mata uang yang berlaku; misalnya: Rp. 2.000, Rp. 20.000.
Demikian artikel, Tradisi Demban dan batu ni demban - Siboro Blog, Apabila artikel ini bermanfaat bagi orang lain mohon untuk di share, Terima Kasih.
0 komentar:
Posting Komentar