Purba secara etimologi
bermakna timur, kata ini serumpun dengan kata "purwa" dalam bahasa
Jawa. Kata ini berakar dari bahasa Sanskerta "purva". Pengaruh budaya
India yang kental dengan corak Hindu-Buddha menyebar luas ke tengah masyarakat
di seluruh kepulauan nusantara,seiring dengan itu bahasa Sanskerta dan huruf
Pallawa menjadi media dalam penyebaran agama Hindu-Buddha.
Perkembangan ini
sudah dimulai jauh sebelum lahirnya tahun Masehi, para sejarawan dan budayawan
Indonesia sendiri dengan tegas mengakui bahwa agama Hindu-Buddha sangat besar
peranannya dalam mewarnai kebudayaan nusantara dan banyak mempengaruhi
perkembangan masyarakat hingga masuknya era kolonialisme.
Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di
Simalungun. Marga ini terbagi ke dalam beberapa cabang yaitu Tambak, Sidasuha,
Sidadolog, Sidagambir, Sigumonrong, Silangit, Tambun Saribu, Tua, Tanjung,
Pakpak, Siboro, Girsang, Tondang, Sihala, dan Manorsa. Penamaan Purba sebagai
marga dari suatu kelompok masyarakat Simalungun dapat dideskripsikan bahwa
nenek moyang mereka berasal dari arah timur pulau Sumatera.
Leluhur awal marga
Purba kemungkinan besar datang dari Siam atau Mongol, ada dua lokasi yang
diduga menjadi tempat berlabuh dan pintu masuknya ke Sumatera Timur, yaitu
pesisir Serdang Bedagai atau Asahan sekarang. Batrlett (1952:633) menulis
sebagaimana dikutip dari Arlin Dietrich (2003:13) bahwa nenek moyang orang
Simalungun pada awalnya berkedudukan di pesisir pantai timur dan akibat desakan
dari populasi etnis Melayu yang datang dari Semenanjung Melayu mereka lalu
berpindah ke pedalaman hingga mencapai pantai Danau Toba dan berbaur dengan
masyarakat setempat.
Sampai sekarang penduduk Melayu di Serdang dan Deli masih
banyak yang mengakui kalau nenek moyang mereka berawal dari suku Simalungun.
Leluhur Purba yang pertama ini lalu mengidentifikasikan dirinya dengan sebutan
Purba yang bermakna timur, ia adalah seorang penganut Buddha dari kalangan
bangsawan yang terpaksa hijrah meninggalkan tanah leluhurnya demi untuk
menyelamatkan diri akibat ancaman gejolak perang dan kekacauan hari terbit di
seberang pulau Sumatera. Kehadirannya ke tanah Simalungun disambut hangat oleh
penduduk setempat dan diberikan keleluasaan hidup bergaul bersama mereka. Si
Purba kemudian menikah dengan salah seorang puteri dari kaum pribumi dan
diberikan sebidang tanah untuk tempat tinggal.
Pada awalnya marga Purba
tidak mengenal sub atau cabang marga seperti yang dikenal saat ini. Besar
dugaan cabang-cabang yang ada sekarang merupakan hasil proses afiliasi dari
para pendatang yang membaurkan diri dengan kelompok marga Purba awal. Artinya
sebelum ada Tua, Tambak, Silangit, Sigumondrong, Sidasuha, Sidadolog,
Sidagambir, Tanjung, Tambun Saribu, Tondang, Girsang, Pakpak, dan Siboro;
kelompok masyarakat bermarga Purba itu telah ada. Jadi munculnya cabang marga
tidak seiring dengan kelahiran induknya, karena jauh sebelum adanya cabang,
induk marga itu sudah lama eksis dan berkembang di Simalungun.
Tidak diketahui
pasti sejak kapan awal kemunculan cabang-cabang marga Purba, namun besar
kemungkinan terjadi setelah abad 11 Masehi. Terbentuknya cabang-cabang tersebut
terjadi pasca adanya migrasi dari suku sekitar yaitu dari Pakpak dan
Minangkabau. Artinya cabang-cabang marga Purba yang ada sekarang ini bukanlah
keturunan langsung dari marga Purba melainkan pihak luar yang membaurkan diri
atau berafiliasi ke dalam marga Purba agar dapat diterima menjadi bagian dari
masyarakat pribumi Batak Timur, yang saat ini lebih populer disebut Simalungun.
Bila dirunut ke belakang telah terjadi dua gelombang migrasi sejumlah suku
bangsa ke tanah Simalungun, pertama adalah komunitas pembentuk marga Purba itu
sendiri yang datang dari Siam atau Mongol, peristiwa ini terjadi sebelum tahun
500 Masehi. Kedua migrasi dari suku sekitar yang kemudian membentuk
cabang-cabang marga Purba.
Dalam buku Sari Sejarah Serdang edisi I karya Tengku
Luckman Sinar yang dikutip dari tulisan Wilkinson dalam buku "Papers on
Malay Subjects" dijelaskan bahwa pada sekitar tahun 1377 Masehi telah
terjadi gelombang eksodus masyarakat Minangkabau ke daerah pesisir Sumatera
Timur setelah Singapura dihancurkan oleh Majapahit, kemudian diikuti gelombang
kedua yang terjadi pada tahun 1611 Masehi, pada masa ini perpindahan mereka
sampai ke semenanjung Malaya.
Perkembangan
Marga Purba
Bila ditinjau dari aspek
historis, sedikitnya ada empat kelompok besar cabang marga Purba yang berbeda
keturunan, yaitu Silangit, Tambak (Sigumondrong, Sidasuha, Sidadolog, dan Sidagambir),
Tua (Tanjung, Tondang, dan Tambun Saribu), dan Siboro (Pakpak, Girsang, dan
Sihala).
Menurut cerita lisan di
Simalungun, leluhur Purba Silangit berasal dari Batu Silangit di Dolog Silou,
dari tempat ini keturunannya kemudian menyebar ke wilayah Simalungun lainnya
hingga tanah Karo, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai seperti Panribuan, Gunung
Panribuan, Gunung Mariah, Langit Sinombah, Raya, dan Silou Kahean. Dari Gunung
Mariah keturunannya kemudian banyak yang hijrah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan
Silangit. Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa Purba Sigulang Batu konon
lahir dari salah seorang keturunan Purba Silangit yang pergi berkelana ke
Humbang.
Pada zaman dahulu di sekitar Dolog Tinggi Raja pernah dikuasai Purba
Silangit, konon terbentuknya cagar alam Dolog Tinggi Raja adalah akibat dari
tragedi bencana banjir yang menimpa
wilayah kekuasaan mereka, masyarakat setempat meyakini usai tragedi inilah
sebagai awal mula munculnya massa air panas dan kawah putih di wilayah ini.
Hingga saat ini sejumlah kecil keturunan Purba Silangit masih mendiami kawasan
ini.
Adapun Purba Tambak
menurut penuturan alm. Tuan Bandar Alam Purba Tambak (Raja Dolog Silou
terakhir) leluhurnya datang dari Pagaruyung yang mengembara melalui Natal terus
ke Singkil lalu ke Dairi, dia kemudian meneruskan perjalanan ke arah timur
hingga sampai ke wilayah Nagur. Dia mendirikan kampung pertama bernama Tambak
Bawang, dia lalu membuat sebuah kolam dari sebuah rawa-rawa (Simalungun:
bawang/rawang).
Dia adalah seorang pemburu yang ulung dan pemancing yang
handal, hal inilah yang menginspirasi lahirnya simbol Purba Tambak yaitu
"ultop" dan "bubu". Masyarakat disekitarnya pun berdatangan
meramaikan tempat itu, mereka lalu mengangkatnya sebagai kepala kampung
(pangulu) Tambak Bawang. Jabatan itu terus dipegang oleh keturunannya hingga
beberapa generasi. Muncullah salah seorang keturunannya yang bernama Tuan Jigou
yang meneruskan jabatan sebagai pangulu. Dia menikah dengan puteri Raja Nagur
marga Damanik dan melahirkan seorang putera bernama Tuan Sindar Lela, ayahnya
berharap puteranya ini akan membawa kejayaan bagi keluarga sehingga dinamakan
Sindar Lela, yang bermakna sinar yang berkilau.
Puteranya inilah yang bertemu
dengan Puteri Hijau di aliran Sungai Petani dekat pohon tualang, sejak saat
inilah muncul gelar Purba Tambak Tualang. Berkat bantuan Puteri Hijau yang
mendesak Sultan Aceh agar segera menobatkan saudaranya yaitu Sindar Lela
sebagai Raja Silou meneruskan Kerajaan Silou telah berdiri sebelumnya oleh
Panglima Indrawarman. Dia menikah dengan puteri Raja Nagur bernama Ruttingan
Omas dan melahirkan 2 orang putera, yang sulung bernama Tuan Tariti dan yang
bungsu Tuan Timbangan Raja. Anak yang sulung pindah ke Silou Buntu dan menjadi
penguasa di tempat itu, sementara yang bungsu pindah ke Silou Dunia.
Tuan
Timbangan Raja inilah yang menikah dengan puteri Bunga Ncolei puteri Sibayak
Pintu Banua dari Barus Jahe dan melahirkan seorang putera bergelar Raja Marubun
yang menjadi leluhur Purba Tambak Lombang dan seorang puteri. Tuan Timbangan
Raja juga menikah dengan puteri dari Parti Malayu marga Damanik, darinya lahir
seorang putera.
Gambar
1 : Raja Dolog Silou, Tuan Tanjarmahei Purba Tambak
Purba Sidasuha berasal
dari Suha Bolag dekat Tiga Runggu, sebuah kampung yang didirikan oleh Raja
Silou. Dalam laporan J. Tideman yang dimuat dalam bukunya "Simeloengoen :
het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot
een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra", dia
mengisahkan bahwa pada zaman dahulu Tuhan Suha Nabolak memiliki dua orang anak,
yang sulung bekerja sebagai petani, sedang yang bungsu setiap pagi pergi untuk
mengambil tuak untuk dibawa pulang kemudian pergi berburu.
Akibat sering pulang
terlambat, abangnya selalu menyantap habis makanan dan juga tuak yang
diusahakan adiknya, sedang adiknya hanya mendapatkankan sisa-sisa. Hal ini
menimbulkan kemarahan adiknya, dia lalu memukul abangnya sehingga pergi
meninggalkan rumah dan bersembunyi di hutan. Akibat perlakuan tidak adil yang
dialaminya, adiknya memutuskan untuk meninggalkan Suha Bolag. Namun sebelum dia
pergi, dia teringat dengan kitab kuno yang dimiliki ayahnya yang terbuat dari
kulit kayu alim warisan keluarga turun temurun bernama Pustaha Panei Bolon.
Dengan mempelajari kitab tersebut manusia akan mampu mengetahui kapan saat yang
benar dalam melakukan sebuah tindakan. Dia lalu mengambil kitab tersebut dan
membawanya menuju arah timur hingga tiba di kampung Dusun Raja Nagur. Kampung
ini sekarang terletak di sekitar Pamatang Panei. Di tempat ini dia menikah
dengan putri kepala kampung bermarga Damanik. Sejak berada di tempat ini dia
berikrar mengganti marganya sebagai Purba Suha atau Sidasuha. Dia semakin
dikenal secara luas oleh masyarakat setelah kematian ayah tirinya yang menjabat
sebagai kepala kampung. Dia mencoba memperluas wilayah dengan menaklukkan Dusun
Sapala Tuhan. Kemudian berkembang desas-desus di tengah masyarakat bahwa dia
memiliki kekuatan gaib yang bersumber dari kitab Pustaha Panei Bolon, orang
menduga dia berhasil melakukan segala hal berkat bantuan kitab tersebut.
Kerajaannya disebut Panei dan ibukotanya Pamatang Panei.
Para penguasa Panei
ketika dikukuhkan sebagai raja wajib duduk di atas Pustaha Panei Bolon sebagai
syarat untuk sah menjadi Raja Panei. Pada zaman dahulu, di lingkungan istana
Kerajaan Panei ada tiga jabatan yang berfungsi sebagai Dewan Kerajaan, yaitu :
1.
Orang Kaya dari marga Purba Girsang dan
diwakili oleh Tuan Dolok Batu Nanggar, salah seorang Parbapaan yang dulu
menjadi vazal Panei.
2.
Jagoraha atau panglima pasukan, jabatan ini
dipegang oleh seorang dari marga Purba Tambun Saribu yang diwakili oleh Tuan
Simarimbun Parbapaan Panei.
3.
Tuan Suhi dari marga Purba Sidadolog yang
diwakili oleh Tuan Sinaman Parbapaan Panei.
Raja pertama Panei
menurunkan seorang putra yang pincang bernama Marsitajuri, salah satu kakinya
lebih panjang dari yang lain. Dalam kondisi pincang, Marsitajuri masih sanggup
menunggang kuda dan menjadi panglima dalam setiap peperangan, sejak itu
dikenallah ia dengan julukan Parhuda Sitajur. Dia menaklukkan berbagai kampung
termasuk Dusun Siantar, Urung Sidadolog, dan
Dusun Sapala Tuhan (sekarang Panei
Hulu), dan membangun sejumlah kampung. Pada masa pemerintahannya, perluasan
wilayah Kerajaan Panei terus dilakukkannya, pihak lawan sangat takut padanya.
Berkat kesaktian kudanya yang dapat menghilang di tengah peperangan, pihak
lawan kerap menggelarinya dengan "Hantu Panei" yaitu roh yang jahat.
Sampai sekarang orang masih mengingat sumpah bahwa Hantu Panei adalah hantu
yang paling jahat.
Gambar
2 : Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak Bersama Para Penasehatnya
Pada generasi berikutnya,
salah seorang keturunan Purba Sidasuha yang berdiam di sebuah pegunungan
membentuk cabang baru dengan sebutan Purba Sidadolog, daerah awal penyebaran
marga ini bermula dari Sinaman, keturunannya kemudian menyebar dan mendirikan
sejumlah perkampungan seperti Bangun Panei, Urung Panei, dan Urung Sidadolog.
Akibat terjadi perselisihan di antara keturunannya, muncul pecahan baru yaitu Purba Sidagambir. Dia sehari-hari bekerja
sebagai petani gambir, mendirikan kampung Rajaihuta, kemudian keturunannya
mendirikan kampung baru bernama Dolog Huluan.
Daftar Raja Dolog Silou :
- Tuan Bedar Maralam
- Tuan Rajomin
- Tuan Moraijou
- Tuan Taring
- Tuan Lurni
- Tuan Tanjarmahei
- Tuan Ragaim
- Tuan Bandar Alam
Daftar Raja Panei :
- Tuan Suha Bolag
- Marsitajuri (Parhuda Sitajur)
- Raja Panei III
- Raja Panei IV
- Raja Panei V
- Raja Panei VI
- Raja Panei VII
- Raja Panei VIII
- Tuan Sarmalam
- Tuan Sarhalapa
- Tuan Jintama
- Tuan Jontama
- Tuan Jadiammat
- Tuan Bosar Sumalam
- Tuan Marga Bulan (Raja Muda)
Add caption |
Gambar
3 : Raja Dolog Silou, Tuan Ragaim Purba Tambak
Keturunan Purba Tambak
yang lahir dari boru Simarmata ada yang pindah ke Cingkes dan menamakan diri
Purba Sigumondrong. Dari Cingkes inilah keturunannya pergi merantau ke berbagai
tempat. Saat ini keturunan Purba Sigumonrong dianggap berasal dari sembilan
kampung yang tersebar di Kabupaten Simalungun, yaitu :
1. Raya Panribuan
2. Sondi Raya
3. Mappu
4. Sinondang, Bawang dan
Saribu Dolog
5. Merek Raya
6. Raya Tongah
7. Bahapal
8. Nagori Dolog
9. Lokkung
Dari sembilan kampung ini,
keturunan mereka menyebar lagi ke kawasan di sekitarnya seperti Sambosar Raya,
Marubun Lokkung, dan Togur. Sigumonrong di Marubun Lokkung dan Togur sekitarnya
adalah perantau dari kampung Lokkung di Raya. Inilah yang mendasari disebut
Marubun Lokkung. Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan
Gerneng. Sementara untuk leluhur Purba Tondang berawal dari kampung Huta Tanoh
di Kecamatan Purba, marga ini merupakan saudara dari Purba Tambun Saribu.
Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tendang. Saudaranya,
Purba Tambun Saribu berasal dari Harangan Silombu dan Binangara di Kecamatan
Purba, keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tambun.
Cabang marga Purba lainnya yaitu Purba Tua, marga ini adalah pendiri kampung
Purba Tua yang berada di Kecamatan Silimakuta, dari marga ini muncul Purba
Tanjung yang mendiami daerah Sipinggan, simpang Haranggaol. Keturunannya yang
pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tua dan banyak bermukim di Juhar.
marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga Cibero di
Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih menjadi Tarigan
Sibero.
Kampung asal Purba Tanjung berada di Sipinggan dekat simpang
Haranggaol. Sedang pendapat lain mengatakan leluhur mereka adalah Purba Tambak,
di mana salah seorang keturunannya pergi berdiam di sebuah tanjung di pinggiran
Danau Toba. Pada akhir abad 18 ada seorang pemuda bermarga Tanjung berasal dari
Minangkabau, ia datang ke Simalungun tepatnya ke daerah Sokkur, Raya Kaheian
bersama orang Cina sebagai pekerja bangunan. Ia lalu menikah dengan seorang
puteri Damanik Malayu, mengikuti adat setempat ia kemudian disahkan sebagai
Purba Tanjung. Dari pernikahannya dengan puteri Damanik Malayu ini, keduanya
dikaruniai 5 orang anak.
Setelah beberapa lama berada di Sokkur, timbul
kerinduannya pada kampung halamannya. Dengan berjalan kaki dia pulang kembali
ke Minangkabau meninggalkan isteri dan anaknya, hingga akhir hayatnya ia tidak
pernah kembali lagi ke Sokkur. Tulang belulang isterinya disemayamkan pada peti
batu dan hingga kini masih tetap diperhatikan oleh keturunannya.
Adapun marga Girsang, dari
hasil investigasi penulis beberapa waktu yang lalu, di mana penulis
menginterview salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia menjelaskan
bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Leluhur marga ini tinggal di
sebuah bukit di kampung Lehu, pemukimannya itu diberikan oleh Raja Mandida
Manik karena menikahi puterinya.
Salah seorang keturunan si Girsang ada yang
memiliki keahlian meramu obat sehingga dikenal juga dengan sebutan Datu Parulas
dan menyumpit burung sehingga digelari juga dengan Pangultop. Adapun nama
leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya adalah
2 orang bersaudara yaitu Girsang Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini
keturunan ke 11 dari Raja Ghaib, leluhur pertama marga Cibero.
Keduanya
melakukan perburuan terhadap seekor burung, karena mengejar burung tersebut
tanpa mereka sadari telah membawa mereka sampai ke tanah Simalungun dan
memasuki kampung Naga Mariah tanah kekuasaan marga Sinaga. Pada masa itu Tuan
Naga Mariah tengah mendapat ancaman dari musuh yang datang dari Kerajaan
Siantar, berkat bantuan si Girsang musuh dari Siantar dapat diatasi. Atas
jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menjadikannya sebagai menantu. Setelah
kematian mertuanya tampuk kekuasaan beralih ke tangan si Girsang.
Sejak
terjadinya suskesi kepemimpinan ini, masyarakat setempat bermarga Sinaga,
akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan berafiliasi dengan marga
Peranginangin Bangun. Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu
sebagai ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu
Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Naga Mariah.
Keturunannya kemudian membelah diri menjadi beberapa cabang seperti Girsang
Rumah Bolon, Nagodang, Parhara, dan Rumah Parik. Sebagian keturunannya yang
pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang, kampung Sinaman di Kecamatan Tiga
Panah merupakan salah satu kampung yang didirikan keturunan Girsang. Adapun
keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang
disebut dengan Girsang Silangit.
Peristiwa yang sama juga
dialami salah seorang keturunan marga Cibero yang bergelar Pangultopultop,
karena memburu seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima Punggapungga
membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki wilayah kekuasaan Tuan
Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan Panei. Karena kepiawaiannya ia
berhasil merebut hati rakyat Simalobong yang tengah dilanda musim paceklik
sehingga rakyat Simalobong dengan sukarela memanggilnya raja. Hal ini
menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong, karena ia merasa ialah
satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut. Akibatnya Pangultopultop
berurusan dengan pihak istana dan berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong,
peristiwa ini berujung dengan adu sumpah (marbija) antara keduanya yang
akhirnya berhasil dimenangkan oleh Pangultopultop.
Kepemimpinan kemudian jatuh
ke tangannya, di bekas wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan
Kerajaan Purba dan mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak.
Mengenai Purba Pakpak, pengetua adat marga Cibero dengan tegas mengatakan bahwa
Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba yang nenek moyang pertama Purba
Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya adalah Gorga,
ia memiliki seorang saudara yg bernama Buah atau Suksuk Langit, saudaranya
inilah yang pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero. Mereka ini merupakan
generasi ke 20 dari Raja Ghaib, generasi awal marga Cibero.
Gambar
4 : Raja Purba XII, Tuan Rahalim Purba Pakpak
Kalau merujuk pada
pendapat beliau, artinya lebih dahulu si Girsang merantau ke Simalungun
dibanding Pangultopultop, ada selisih 9 generasi antara Girsang dan Pangultopultop,
leluhur Purba Pakpak. Di antara keturunan Purba Pakpak ada yang membelah diri
dan menyebut marganya dengan Purba Sihala dan mendiami daerah Purba Hinalang,
keturunannyalah yang pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Purba atau Tarigan
Cikala yang banyak mendiami daerah Cingkes dan Tanjung Purba, Kecamatan Dolog
Silou.
Daftar Raja Purba :
1. Tuan Pangultop Ultop
(1624-1648)
2. Tuan Rajiman
(1648-1669)
3. Tuan Nanggaraja
(1670-1692)
4. Tuan Batiran
(1692-1717)
5. Tuan Bakkaraja
(1718-1738)
6. Tuan Baringin
(1738-1769)
7. Tuan Bona Batu
(1769-1780)
8. Tuan Rajaulan
(1781-1769)
9. Tuan Atian (1800-1825)
10. Tuan Horma Bulan
(1826-1856)
11. Tuan Raondop
(1856-1886)
12. Tuan Rahalim
(1886-1921)
13. Tuan Karel Tanjung
(1921-1931)
14. Tuan Mogang (1933-1947)
Gambar
5 : Rumah Bolon Kerajaan Purba
Gambar
6 : Balei Bolon Kerajaan Purba
Daftar
Pustaka :
1.
Purba Tambak, TBA. Sejarah Keturunan Silou.
Pematang Siantar: 1967
2.
Purba Tambak, TBA & Purba, Jintahalim.
Naskah Silsilah Purba Tambak. Pematang Siantar: 1967
3.
Purba Tambak, Herman, Drs. Kerajaan Silou
(Historiae Politia), Edisi Kedua. Pematang Siantar: 2008
4.
Purba, MD, Letkol. Pustaha Panei Bolon.
Pematang Siantar: 1970
5.
Purba, Kenan, D & Purba, J.D. Sejarah
Simalungun. Jakarta: Bina Budaya Simalungun Parsadaanni Purba Pakpak Boru Pakon
Panogolan: 1995
Demikian artikel, SekilasCerita Sejarah Lahirnya Marga Purba Simalungun - Siboro Blog, apabila artikel
ini bermanfaat bagi orang lain silahkan di dibagikan, Terima Kasih.
Sumber
: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
JADI PURBA SIDASUHA, SIDADOLOG DAQN SIDAGAMBIR BUKAN TOBA
BalasHapus