Raduga Kh-59, Rudal TNIAU Paling Pemalu – Siboro Blog - Saat ini TNI AU sudah memiliki sejumlah arsenal rudal
udara-permukaan yang dapat dipergunakan untuk ‘memukul’ kapal perang. Dari
Amerika Serikat sudah ada AGM-65 Maverick, sementara dari Rusia rudal Kh-31
sudah terbeli untuk armada Su-30. Pada kenyataannya, kedua rudal ini menghuni
segmen rudal anti sasaran permukaan jarak dekat sampai menengah.
Raduga Kh-59, Rudal TNI AU Paling Pemalu – Siboro Blog
Maverick memiliki jarak efektif 22-30 kilometer, sementara
Kh-31 varian anti kapal punya jarak maksimal sampai dengan 100+ kilometer. Di
atas kertas angka ini terlihat digdaya, namun perkembangan teknologi telah
membuat radar yang digunakan kapal perang semakin bernas.
Mendeteksi sasaran sebesar Su-30 yang terbang mendekati
formasi kapal perang pada jarak 100-150 kilometer saat ini bukanlah hal yang
sulit untuk radar kapal perang, apalagi kalau pesawat pembawa rudalnya tidak
dilengkapi dengan perangkat EW (Electronic Warfare) seperti jammer.
Di kawasan Asia Tenggara saja, kapal perang AL di kawasan
sudah menggunakan radar S-Band modern yang jangkauannya dalam kondisi ideal
bisa mencapai 200km dalam cuaca cerah. Tidak ada lagi ceritanya seperti dalam
Perang Falklands, ketika Kapten Agusto Cesar Bedacarratz dan Letnan Armando
Mayora dapat melepaskan rudal AM39 Exocet dari Super Etendardnya dan
mengaramkan HMS Sheffield.
Di era saat ini, dengan semakin berkembangnya teknologi,
pesawat tempur pembawa rudal anti kapal harus melepaskan rudalnya sedini
mungkin sebelum disorot oleh radar kapal, sehingga memperbesar kemungkinan
perkenaan rudal karena terjaganya unsur kejutan.
Nah, kejutan berikutnya datang dari SIPRI, organisasi Swedia
yang melakukan riset berkala mengenai transfer alutsista dunia. SIPRI
menengarai bahwa pada 2010 Indonesia sudah melakukan pembelian 10 unit rudal
Raduga Kh-59M (kode NATO: AS-18 Kazoo).
Di antara catatan pembelian rudal untuk Su-30, data SIPRI
sudah terbukti akurat dengan penampakan dummy atau versi latih rudal yang
digotong oleh Su-30 dalam berbagai kesempatan. Hanya tinggal Kh-59M saja yang
belum pernah menampakkan dirinya, apakah TNI AU memang sengaja menyimpan rudal
taktis ini sebagai senjata strategis yang hanya dikeluarkan sebagai pamungkas
di saat-saat tergenting?
Rudal Kh-59M sendiri merupakan salah satu varian dari rudal
Kh-59 (AS-13 Kingbolt). Di antara jajaran arsenal rudal udara-permukaan Blok
Timur, Kh-59 buatan pabrikan Raduga merupakan salah satu rudal pertama yang
dihadirkan di hadapan publik sesudah Uni Soviet bubar jalan.
Sosok rudal ini justru dipergoki dalam pameran IDEX di Dubai
pada 1991, yang sudah tentu dimaksudkan untuk dijual untuk pembeli yang
tertarik, demi menarik devisa untuk menghidupi Rusia yang saat itu ada di
ambang kebangkrutan.
Namun apabila ditilik dari sejarah pengembangannya, riset
pengembangan Kh-59 sudah dilakukan jauh sebelum itu. Pada pertengahan 1980an,
militer Uni Soviet sudah menyadari bahwa perkembangan yang sangat cepat dalam
teknologi radar dan pertahanan udara baik itu aktif maupun pasif telah
menyebabkan makin sulitnya misi penetrasi pesawat serang, baik itu di ketinggian
tinggi maupun rendah.
Rudal-rudal udara-darat yang digotong pesawat tempur Rusia
saat itu tidak memiliki jarak yang memadai untuk dapat memberikan margin
keselamatan bagi pesawat pembawanya. Kehadiran sistem MIM-104 Patriot yang
mulai matang di awal 1980an dengan jarak efektif 90km (PAC-2) membuat para
perencana militer Soviet makin ketar-ketir.
Mengembangkan satu rudal taktis dengan jangkauan jauh pun
menjadi satu pilihan yang tak terelakkan. Pertanyaan berikutnya, akan seperti
apakah desain rudalnya? Apakah perlu membuat rudal dengan kecepatan sangat
tinggi dengan motor turbojet seperti desain rudal yang sudah-sudah?
Apabila yang dicari kecepatan tinggi, jarak jangkau harus
dikorbankan dan material pembuat rudalnya harus menggunakan bahan ringan dan
tahan panas seperti titanium yang mahal.
Lalu untuk sistem pemandunya, sistem apakah yang akan digunakan?
Perlukah mengandalkan radar sebagai pemandu, sementara sistem pengacau radar
semakin canggih, apalagi Uni Soviet kalah canggih dalam soal pengembangan
sistem radar.
Salah satu pabrikan yaitu Raduga yang memiliki spesialisasi
pembuatan rudal jelajah berupaya menjawab tantangan tersebut dengan konsep
mereka yang dinamai D-9. D-9 dikembangkan dengan mengacu pada tipe rudal Kh-58
(kode NATO: AS-11 Kilter) yang merupakan rudal anti radiasi dengan jangkauan
120 kilometer.
Namun begitu, Kh-58 memiliki karakteristik kecepatan tinggi,
yang terbukti problematik ketika harus disandingkan dengan sensor pemandu.
Untuk rudal baru yang bisa didesain standoff tersebut, sistem pemandu yang
dipilih adalah elektro-optik, dimana pesawat penembak dapat mengendalikan
vektor rudal secara aktif melalui layar LCD yang terpasang di kokpit.
Singkatnya, sistem pemandu berbasis televisi seperti pada AGM-65 Maverick versi
standar.
Sistem pemandu berbasis elektro-optik jauh lebih tahan dari
kemungkinan jamming, walaupun memang menuntut konsentrasi dan kejelian awak
yang berada di balik kokpit. Sistem pemandu pada D-9 menggunakan modul elektro
optik yang juga terpasang pada rudal Kh-29T, dipasang pada gimbal dan
distabilisasi pada dua sumbu.
Saat melesat dengan kecepatan sangat tinggi, operator senjata
atau pilot kesulitan untuk mencari, mengenali, dan mengarahkan rudal
terus-menerus ke sasaran; sedikit perubahan pada input saja bisa membelokkan
arah rudal secara ekstrim.
Rudal didesain dengan sistem pemandu inersial, dimana
operator senjata/ pilot memasukkan koordinat dimana posisi sasaran berada;
koordinat ini akan disimpan oleh chip memori yang terpasang pada rudal. Pesawat
pembawa tinggal meluncurkan rudal pada jarak tertentu, versi pertama Kh-59
menuntut peluncuran dari jarak 40km untuk perkenaan pasti.
Kh-59 menggunakan sayap sekunder (canard) dan sayap utama
yang dapat dilipat pada saat dibawa dengan trailer maupun pada saat tergantung
di bawah pesawat. Rudalnya memiliki dua motor roket berbahan bakar padat, yang
terdiri dari segmen booster di bagian belakang, dan motor sustainer di
depannya.
Pada saat fase peluncuran awal, booster akan beraksi begitu
rudal terlepas dari pylon berkat ledakan cartridge piroteknik AKU-58-1 yang
sekaligus membebaskan antena yang menangkap perintah dari pemandu rudal. Di
bagian depan, pelindung lensa elektro optik dari bahan metal berkode AMG-6 juga
ikut terlepas. Saat rudal terlepas, sayap-sayap rudal pun terkembang, dan
akhirnya rudal meluncur dengan bantuan roket sustainer.
Saat rudal sampai pada radius 5-10 kilometer dari sasaran,
rudal akan menurunkan ketinggian sampai tinggal 4-7 meter di atas permukaan
laut untuk mengurangi kemungkinan deteksi dari sistem pertahanan lawan,
sekaligus mulai mentransmisikan sinyal video terenkripsi ke pesawat peluncur.
Apabila terbang di atas permukaan tanah, Kh-59 terbang lebih
tinggi dengan minimal ketinggian 100 meter di atas permukaan tanah. Operator
senjata/ pilot akan melihat apa yang dilihat oleh kamera pemandu, dimana ada
beberapa moda yang dipilih yaitu tangkapan normal (day view) dan termal untuk
memberikan kontras sasaran yang lebih baik.
Disinilah peran operator senjata/ pilot bermain untuk
mengarahkan rudal sampai ke sasaran, dimana motor roket utama langsung menyala
dan rudal melesat lebih cepat dibandingkan kecepatan jelajahnya sampai ke
sasaran. Setiap kali operator senjata/ pilot menggerakkan joystick, input
tersebut akan mengubah sudut keempat sirip kendali utama untuk mengarahkan
rudal ke sasaran yang ditentukan oleh retikula pada layar di kokpit.
Sumber tenaga untuk mengubah sudut sayap rudal bersumber dari
baterai yang tersimpan di dalam tubuh rudal. Seeker optik pada Kh-59 juga dapat
digunakan untuk mengunci sasaran seperti kapal, selama sasaran memiliki kontras
yang tinggi dibandingkan dengan latar belakang di sekitarnya.
Dengan hululedak 147kg TNT yang didesain dengan pola shaped
charge, satu hantaman Kh-59 pada lambung kapal dipastikan dapat melubangi kapal,
atau menghancurkan bangunan tanpa perkuatan khusus. Sebagai perbandingan, rudal
Exocet MM40 memiliki bahan peledak seberat 168kg.
Kelemahan dari Kh-59 sendiri dengan desainnya ada 2: yang
pertama, rudal jelas tidak dapat menemukan sasarannya secara independen.
Koordinat lawan dapat diperoleh melalui penerbangan pesawat intai, tangkapan
radar dari kapal perang kawan (untuk sasaran maritim), atau citra foto satelit,
tetapi tidak ada jaminan bahwa sasaran tidak berpindah tempat, terutama bila
sasarannya berupa kapal perang atau kendaraan pembawa rudal jelajah misalnya.
Belum lagi resiko pesawat pengintai tertembak duluan oleh sistem pertahanan
lawan.
Kelemahan yang terakhir dari sistem Kh-59 adalah
ketergantungan pesawat pembawa dengan pod datalink sistem kendali rudal APK-9
Tekon-1 buatan perusahaan Tekon Elektron, Ukraina. Pod APK-9 menyediakan sistem
panduan terus-menerus berkat antena modulasi yang mengirimkan sinyal untuk
berkomunikasi dengan rudal yang melesat di udara. Antena tersebut terpasang di
bagian depan dan ekor, sehingga saat pesawat peluncur sudah berbalik arah,
komunikasi dengan rudal selalu terjaga. Baca Juga : ( Budidaya Tanaman Kemiri (Aleurites moluccana Willd) - Siboro Blog )
Selama pengujian yang dilakukan oleh AU Rusia dengan
menggunakan Su-17M4, Kh-59 memiliki tingkat perkenaan yang tinggi, hanya 1-1,5
meter dari titik tengah retikula. Pengujian dianggap sukses dan Kh-59 bisa
masuk produksi pada tahun 1984 untuk melengkapi pesawat serang Su-24M Fencer
yang memang menggunakan konfigurasi pilot dan navigator.
Karena membutuhkan konsentrasi tinggi di fase terminal,
Su-24M dianggap ideal untuk platform peluncur Kh-59. Para desainer Raduga
memenangkan penghargaan negara atas jasa mereka mendesain Kh-59.
Pada pertengahan 1990an, Raduga mendesain ulang Kh-59 dan
menyempurnakannya menjadi Kh-59M. Perubahan yang terjadi adalah desain ulang
pada silinder rudal dimana tubuh rudal kini sedikit lebih panjang. Posisi sayap
kendali utama lebih ditarik ke belakang, begitu juga sirip sekunder yang kini
lebih panjang.
Untuk menambah jarak luncur rudalnya sendiri, Raduga
mengombinasikan antara propelan padat pada motor roket dengan mesin turbofan
RDK-300 buatan Soyuz OKB menggunakan fairing yang terpasang di sisi bawah
silinder rudal. Mesin turbofan ini akan membawa rudal selama penerbangan menuju
sasaran dengan kecepatan Mach 0,9-1 pada ketinggian hanya 10-15 meter di atas
permukaan laut.
Penggunaan mesin turbofan ini membantu meningkatkan jarak
luncur yang bisa mencapai 200 kilometer, membuat Kh-59M menjadi rudal standoff
sejati. Perubahan lain adalah pada hululedak yang kini ditambah dua kali lipat
menjadi 315kg TNT untuk sasaran keras atau 280kg untuk hululedak fragmentasi.
Dengan kenaikan bobot hululedak sampai dua kali lipat
tersebut, diharapkan sasaran berupa korvet atau frigat ringan dapat ditenggelamkan
dalam sekali hantaman.
Demikian Artikel, Raduga Kh-59, Rudal TNI AU Paling Pemalu – Siboro Blog, Apabila menurut Anda,
artikel ini bermanfaat bagi orang lain, Mohon untuk di Share. Terima Kasih.
0 komentar:
Posting Komentar